Sejarah Al Quran

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9).

Al Quran pada zaman Rasulullaah 

Pengumpulan Al Quran ditempuh melalui dua cara, yaitu al-jam'u fis-suduur dan al-jam'u fis-sutuur.
  1. al-jamu fis-suduur artinya dikumpulkan dalam hati. Yaitu dilakukan melalui metode hafalan para sahabat
  2. al-jamu fis-sutuur artunya dikumpulkan di media tertentu. Yaitu dilakukan dengna menuliskan ayat-ayat yang disampaikan oleh Rasulullaah itu di pelepah kurma, lempengan batu, kulit hewan, ataupun tulang hewan.
Hasil penulusan Al Quran belum tersusun secara berurutan sesuai ayat ataupun surahnya, tetapi Rasulullaah telah memberikan petunjuk kepada para penulis ayat-ayat Al Quran tentang letak tiap-tiap ayat dan surah.

Al Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq

Sepeninggal Rasulullaah, Aisyah menyimpan beberapa naskah (manuskrip) Al Quran. Naskah-naskah ini pun kemudian dikumpulkan, tetapi susunannya didasarkan pada urutan turunnya ayat.

Pengumpulan naskah-naskah Al Quran pada masa Abu Bakar ini disebabkan gugurnya banyak para penghafal Al Quran pada Perang Yamamah. Umar bin KHaththab yang mula-mula mengusulkan agar naskah-naskah tulisan Al Quran dikumpulkan dan dijadikan satu. Abu Bakar sempat menolak dan menyatakan tidak berani mengintruksikan dilaksanakannya usulan Umar. Namun, usulan Umar akhirnya diterima karena hal itu sangat penting artinya dan tidak lain adalah suatu kebaikan.

Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk menjadi penanggung jawab utama dalam memeriksa dan meneliti naskah-naskah Al Quran yang ada untuk kemudian dikumpulkan dan disusun ke dalam satu jilid besar (master volume).

Setelah menjadi satu volume besar, naskah Al Quran hasil pengumpulan Zaid ini disimpan oleh Abu Bakar. Peristiwa itu terjadi pada tahun 12 H.

Al Quran pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab

Setelah Abu Bakar wafat, naskah besar ini disimpan oleh khilafah sesudahnya, yaitu Umar. Sepeninggal Umar, master volume ini disimpan oleh putri Umar yang hafal Al Quran, Hafshah binti Umar. Hafshah terpilih untuk menjaga mushaf juga dengan pertimbangan dia adalah salah seorang istri Rasulullaah.

Umar mengirim para sahabat yang kredibel dan memiliki kapasitas tinggi dalam bidang bacaan dan kandungan Al Quran ke wilayah-wilayah Islam yang baru dikuasai.

Al Quran pada zaman Khalifah Utsman bin Affan

Adanya benih-benih perselisihan di antara pemeluk Islam dari kalangan non-Arab karena mereka membaca Al Quran dengan dialek bahasa masing-masing membuat Utsman berinisiatif meminta Hafshah untuk meminjamkan mushaf yang dipegangnya agar disalin oleh tim yang telah dibentuk Utsman.

Kodifikasi dan penyalinan kembali mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H. Pada proses kodifikasi ini, Utsman berpesan bahwa apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan ayat-ayat tertentu maka agar mengacu pada dialek suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.

Utsman membuat salinan Al Quran sejumlah 6 mushaf.

Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar, yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam, dan Yaman. Utsman sendiri meminta satu mushaf untuk ia simpan di Madinah. Mushaf ini belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.

Tulisan yang dipakai oleh tim yang dibentuk Utsman untuk menyalin mushaf itu berpegang pada rasm al-anbath; yang ditak dilengkapi syakl (harakat/tanda baca) ataupun nuqath (titik sebagai pembeda huruf).

Al Quran pada zaman Khalifah Ali bin Abu Thalib

Tersebarnya cahaya Islam di hampir penjuru dunia dan dipeluk oleh berbagai macam suku dan bangsa yang memiliki bahasa yang berbeda-beda memberikan inspirasi kepada salah seorang karib Khalifah Ali bin Abu Thalib, Abu Aswad ad-Du'ali, untuk membuat tanda baca (nuqathul-i'rab) yang kemudian dikenal dengan istilah "harakat".

Perkembangan Tanda Baca Al Quran

Adapun yang pertama kali membuat tanda titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu harf) adalah Nashr bin Ashim (w. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Umayyah (40-95 H).

Pada perkembangan berikutnya, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) menyempurnakan tanda baca berupa fathah, kasrah, dhammah, sukun, dan tasydid seperti yang kemudian kita kenal sekarang ini.

Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama berijtihad untuk semakin mempermudah orang dalam membaca dan menghafal Al Quran khususnya orang-orang non-Arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid berupa isymam dan madd.

Para ulama ini juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat, mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), dan menerangkan identitas surah di awal setiap surah; terdiri dari nama, tempat turunnya surah, jumlah ayat, dan jumlah 'ain.

Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al Quran adalah tajzi yaitu tanda pemisah antara satu juz dan juz yang lainnya berupa kata "juz" diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-juz us-salisu untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa setengah juz, seperempat juz, seperlima juz, dan sepersepuluh juz.

Komentar

Dipersilakan untuk berdiskusi di sini.

Archive

Formulir Kontak

Kirim